A Sad Love

Kim Shin: “There is no sadness that lasts for eternity. There is no love that lasts for eternity either.”


Eun Tak: “I’m going to vote that there is.”


Kim Shin: “Which one are you voting for? Love or Sadness?”


Eun Tak: “A sad love.”

GOBLIN, kata yang udah jadi viral semenjak kemunculan dramanya di akhir tahun 2016 lalu. Gue dan mungkin orang lain pasti tadinya gak nyangka kalau drama Goblin bisa jadi se-viral ini sampai-sampai popularitasnya mengalahkan DoTS!!! untuk sebuah TV kabel TvN kayaknya lagi dilanda keberuntungan tahun 2016 dan awal tahun 2017 ini karena rating drama yang sudah mendunia ini yang katanya “tinggi” dan mengalahkan rating “Reply 1988” dan juga DoTS, namun kalau mau dibanding-bandingin, kayaknya gak etis karena jelas genre mereka berbeda. Secara Goblin itu fantasi drama dan DoTS lebih ke realita ya.

Gue baru bisa buat review sekarang karena gue masih gagal move on dari drama satu ini, gue lagi tahap puasa drama dulu. Gue itu tipe orang yang agak susah move on dari drama yang menurut gue bagus, dan Goblin adalah salah satu drama yang dapat membuat gue stuck in love dengan drama, aktornya, OSTnya dan semua yang ada didalamnya. Gue merasa tersihir ke dunia Euntak dan gue gak bisa get rid of bayang-bayang Kim Shin dari kepala gue. OSTnya setiap hari gue puter, setiap saat malah. Gue beli barang-barang yang berhubungan dengan Goblin, salah satunya ransel Jansport yang dipakai Euntak pertama kali, muffler warna merah (nitip sama temen yang kebetulan kemarin ke Korea hehehe) dan hal apapun yang bisa menghidupkan Goblin di dunia gue. Beginilah gue, gue terlalu addict sama sesuatu berbau fiksi. Gue udah berkali-kali dibilangin sama temen gue kalo hidup gue tuh udah terbalik antara fiksi sama realita, cuma ya gue tetep gini-gini aja. Fiksi bagi gue adalah sebuah pengalihan, pengalihan dari sesuatu yang bisa aja gue lakukan tapi gue gak mau melakukan itu. Kalau gak ada fiksi, gue gak tau mau melakukan apa. Gue tau gue gak bisa kayak gini terus. Cuma, gue belum nemu cara lain yang bisa gantiin fiksi di hidup gue, setidaknya untuk saat ini.

Well, balik lagi ke judul. A sad love. Yes, I agree, Goblin is kinda sad. I mean, there is no way to change the fate between Goblin and his bride and It’s so obvious that makes it more beautiful to let it just like that. A sad love is sadly saaaad. But, sometimes, happiness is not always about happy ending or happily ever after. Happiness is all moments together being one thing called love.

Gue suka cara writer mempertahankan itu dari akhir, dan gak maksa salah satu entah itu Goblin atau Euntak untuk jadi bukan diri mereka, I mean, human stays human and Goblin stays Goblin, tapi mereka saling mencari satu sama lain. Goblin immortal sedangkan Euntak mortal, jadi Euntak masih punya 3 kehidupan lagi bersama Goblinnya. Cuma kita memang gak akan tau Ending sebenarnya, namun kita tau, mereka ada dan pasti akan selalu saling mencari satu sama lain, lalu saling menemukan. Itulah mengapa cinta diantara mereka amatlah berharga, karena waktu berperan didalamnya. Momen-monen yang dibatasi waktu itulah yang sangat berharga, karena tak akan terulang kembali, melainkan hanya bertambah menjadi kenangan.

Berikut komentar netizen sepertinya yang menjadi inspirasi gue buat nulis review tentang Goblin ini:

 

Gue bener-bener nangis pas adegan ini, walau mereka gak melakukan apa-apa, gue bisa merasakan emosi dalam ekspresi Euntak, gue gak tau gimana caranya dia bisa sampai kesini, gue rasa takdir mereka memang gak bisa berubah, cuma kemauan besar dari Euntak pasti akan membawanya kembali ke pelukan Goblinnya. Sesuai banget sama judul drama ini yaitu Goblin aka “Guardian: The Lonely and Great God”, Goblin akan selalu menjadi lonely god yang menantikan bridenya.

Leave a comment